Neuromatematika tidak hanya mempelajari bagaimana otak memahami angka dan ritme, tetapi juga bagaimana otak memproses bentuk, ruang, dan struktur visual yang menjadi dasar dari geometri. Visualisasi matematis merupakan kemampuan penting dalam memahami peta, grafik, diagram, pola ruang, hingga konsep tiga dimensi. Namun, sedikit yang menyadari bahwa proses ini melibatkan kerja kompleks dari berbagai area otak yang saling berinteraksi.
Neuromatematika dan Visualisasi
Ketika manusia melihat bentuk atau pola visual, visual cortex adalah wilayah yang pertama kali aktif. Bagian otak ini memecah informasi visual menjadi komponen dasar seperti garis, sudut, warna, dan gerakan. Namun untuk memahami bentuk secara matematis—misalnya simetri, perbandingan panjang, atau transformasi ruang—otak membutuhkan bantuan dari parietal cortex, pusat pemrosesan spasial dan numerik.
Parietal cortex dianggap sebagai jembatan antara penglihatan dan konsep matematika
Area ini bukan hanya mengenali bentuk, tetapi juga memahami hubungan antar bagian. Misalnya, ketika memutar sebuah bentuk dalam pikiran, seperti kubus atau segitiga, otak menggunakan “peta mental” yang dibuat oleh jaringan saraf di parietal cortex. Kemampuan ini disebut mental rotation, dan merupakan fondasi dari pemahaman geometri.
Visualisasi matematis tidak hanya terjadi ketika melihat objek nyata, tetapi juga saat membayangkan sesuatu yang tidak ada di depan mata. Ketika siswa diminta membayangkan volume, luas permukaan, atau grafik fungsi, otak menggunakan memori visual simultan dan pemrosesan abstrak untuk membentuk model mental. Hal ini melibatkan koneksi antara hippocampus (memori spasial) dan prefrontal cortex (logika dan penalaran).
Neuromatematika menemukan bahwa individu yang kuat dalam geometri atau fisika sering memiliki jalur saraf yang lebih efisien dalam memproses informasi spasial. Mereka mampu “melihat” konsep matematis dalam bentuk visual, bukan hanya sebagai angka di kertas. Inilah yang membuat beberapa orang mudah memahami grafik, diagram, atau bentuk 3D.
Menariknya, pelatihan visual seperti menggambar, seni rupa, permainan puzzle, atau aktivitas konstruksi dapat memperkuat jalur visual-matematis dalam otak. Hal tersebut membuktikan bahwa visualisasi matematika bukan bakat bawaan semata, tetapi kemampuan yang bisa dilatih melalui pengalaman dan stimulasi.
Neuromatematika juga membantu meneliti gangguan belajar seperti kesulitan memahami grafik atau bentuk geometris. Kondisi tersebut muncul ketika koneksi visual-spasial dalam otak tidak berkembang optimal. Dengan memahami letak hambatannya, pendidik bisa merancang metode belajar yang lebih tepat, seperti penggunaan model 3D, alat manipulatif, atau simulasi digital.
Di era teknologi modern, konsep visualisasi matematis menjadi dasar bagi desain grafis, simulasi komputer, augmented reality (AR), dan kecerdasan buatan. Algoritma komputer bahkan dirancang meniru cara otak memproses bentuk dan ruang melalui convolutional neural networks (CNN).
Neuromatematika menunjukkan bahwa kemampuan visualisasi matematis adalah gabungan antara penglihatan, logika, memori, dan pengalaman. Dengan memahami proses ini, manusia dapat memaksimalkan cara belajar dan membuka jalan baru dalam inovasi teknologi berbasis visual.